Diskusikan Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI Bersama DPR RI
Undang-undang No.17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara bertanggung jawab untuk melakukan deteksi dini dan peringatan dini guna mencegah, menangkal, dan mengatasi setiap ancaman yang muncul dan membahayakan kepentingan serta keamanan nasional.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E.,M.M., M.Si, dalam Focus Group Discussion (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring Atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diselenggarakan oleh Prodi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama dengan Departemen HI UI, di Ruang Executive FEB Gedung AB UKI (11/06).
“Jadi peran intelijen negara adalah melakukan kegiatan deteksi dan peringatan secara dini atas ancaman kepentingan dan keamanan nasional,” ujar Tubagus Hasanuddin.
Menurut Tubagus, undang-undang Intelijen mengatur kegiatan intelijen, namun yang terpenting adalah perlunya didasari oleh moral agar kegiatan intelijen tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.
Teknologi alat sadap telah mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan invasive. Alat-alat ini sering digunakan untuk memantau komunikasi digital, termasuk pesan teks, panggilan telepon, dan aktivitas online lainnya. Meskipun teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan keamanan yang sah, laporan dari Amnesty International menyoroti bagaimana alat ini sering disalahgunakan.
Lebih lanjut Tubagus Hasanuddin menjelaskan, dalam UU Intelijen negara, hal yang menjadi halangan adalah terkait penyadapan. “Ada tujuan yang baik dari penyadapan asalkan tetap melindungi hak asasi manusia,” ujarnya.
Guru Besar ilmu keamanan internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D. menyoroti adanya aturan terkait penyadapan yang termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Yang terpenting adalah aturan penyadapan atau spionase harus mengedepankan keamanan dan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum melakukan penyadapan untuk menjaga keamanan negara dari ancaman. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pemerintah agar peraturan spionase atau intelijen tidak merampas kebebasan individu,” ujar Prof. Angel Damayanti.
Prof. Angel menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) spionase, norma, dan etika dalam memperoleh informasi perlu diatur dengan jelas, serta pentingnya mendefinisikan ancaman secara jelas untuk membuat regulasi yang efektif.
“Dalam pembuatan RUU, penting untuk menyamakan persepsi tentang apa yang disebut sebagai ancaman. Misalnya, dalam kasus terorisme, ada perbedaan pandangan tentang apakah perempuan, remaja, dan anak dianggap sebagai korban, pelaku, atau ancaman. RUU harus jelas mengatur apakah barang bukti digital yang diambil melalui spionase dapat digunakan untuk mengadili kasus terorisme, yang akan membantu hakim dalam memberikan hukuman yang lebih adil,” jelas Prof. Angel.
Narasumber selanjutnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., menyampaikan pandangannya terkait kontradiksi dalam hubungan antara negara dengan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam akses informasi.
“Spionase merupakan bentuk perang terselubung yang melibatkan kegiatan pengawasan dan pengumpulan informasi secara rahasia,” ujar Arhuur.
Menurut Direktur Centro for Social Justice and Global Responsibility UKI ini, terdapat kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. “Di satu sisi, negara harus transparan untuk mempertahankan legitimasi dan kepercayaan publik, namun di sisi lain, kerahasiaan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional,” ujarnya.
“Pentingnya kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi. Perbedaan kecepatan dalam akses informasi dapat menjadi tantangan besar, sehingga negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan informasi dapat diperoleh dan digunakan secara efektif. Selain itu, pentingnya regulasi yang jelas dan tegas untuk mengatur kegiatan spionase, agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di kemudian hari,” jelas Arthuur.
FGD dihadiri juga oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D; Direktur Penelitian Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc dan Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.
“Ruang diskusi terkait spionase dan intelijen harus tetap terbuka walaupun berisikan isu yang sensitif. Dinamika sosial yang ada merupakan rekonstruksi sosial yang dapat didekonstruksi lagi, karena setiap hal memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang pasti adalah jangan sampai melanggar etika dan moral dalam menekan kebebasan berpendapat,” tutup moderator.