Gudeg adalah kuliner khas Yogyakarta yang telah meraih popularitas di seluruh Indonesia. Terbuat dari bahan utama nangka muda yang dimasak dengan santan dan rempah-rempah, menghasilkan citarasa manis yang unik. Biasanya disajikan dengan nasi putih, ayam, telur, tahu, tempe, dan sambal krecek untuk memperkaya rasa gudeg. Kombinasi lauk-pauk tersebut menjadikan gudeg disukai oleh banyak orang, bukan hanya di Yogyakarta tetapi juga di berbagai daerah lain. Namun, apakah sejarah gudeg ini?
Asal usul nama “Gudeg” berasal dari bahasa Jawa, “hangudeg” atau “ngudheg”, yang artinya adalah mengaduk. Nama ini merujuk pada proses memasak gudeg yang membutuhkan pengadukan terus-menerus agar tidak gosong. Proses ini mencerminkan kesabaran dan ketelatenan, nilai-nilai yang dihormati dalam budaya Jawa.
Sejarah gudeg memiliki beberapa versi yang berbeda. Salah satu versi menyebutkan bahwa gudeg sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Saat hutan Alas Mentaok dibuka, banyak nangka dan kelapa yang dihasilkan dan diolah menjadi gudeg oleh prajurit dan warga setempat. Namun, ada juga versi yang mengaitkan kemunculan gudeg dengan penyerangan pasukan Mataram ke Batavia antara tahun 1726-1728. Versi ini masih diperdebatkan karena gudeg basah tidak tahan lama untuk perjalanan jauh.
Selain itu, dalam naskah Serat Centhini yang ditulis pada abad ke-19, gudeg disebut sebagai hidangan yang disajikan kepada tamu. Ini menunjukkan bahwa gudeg sudah menjadi bagian dari tradisi kuliner Jawa sejak lama. Awalnya, gudeg yang dikenal adalah gudeg basah dengan kuah santan encer. Namun, seiring berjalannya waktu, variasi gudeg kering muncul yang menggunakan sedikit santan agar lebih tahan lama dan cocok sebagai oleh-oleh.
Tidak hanya itu, ada juga variasi gudeg manggar yang menggunakan bunga kelapa sebagai bahan utama. Namun, jenis ini saat ini sulit ditemukan di luar restoran atau hotel berbintang di Yogyakarta. Selain rasa, keunikan lain dari gudeg terletak pada kemasannya. Tradisionalnya, gudeg dikemas dalam besek atau kendil yang menaikkan nilai estetika dan mempertahankan citarasa gudeg. Dengan sejarah dan keunikan ini, gudeg bukan hanya sekadar makanan tetapi juga mewakili budaya dan tradisi Yogyakarta yang patut dijaga.