Orang dengan tubuh pendek cenderung hidup lebih lama daripada orang bertubuh tinggi, ini adalah pernyataan yang kembali mencuat dalam tanya jawab seputar panjang umur. Tetapi, menurut Pakar Neurosains Molekuler dari IPB University, Berry Juliandi, hal ini tidak dapat disimpulkan secara sederhana. Berry menyebut bahwa ada gen pleiotropik yang berperan dalam pertumbuhan pada awal kehidupan, namun bila tetap aktif di usia tua dapat mempercepat proses penuaan atau bahkan memicu kanker.
Dia juga menyoroti bahwa perbandingan tinggi badan dengan harapan hidup tidak bisa langsung disamakan. Berry menjelaskan bahwa konsep ukuran relatif harus dipahami, misalnya, bayi mungkin tampak lebih besar secara absolut jika dilihat dari proporsi kepala terhadap tubuhnya. Selain itu, gaya hidup dan kondisi sosial juga turut berperan penting dalam menentukan usia harapan hidup seseorang. Berry mengemukakan bahwa faktor genetik dan lingkungan turut memengaruhi umur panjang seseorang.
Studi tentang blue zone, yaitu wilayah di dunia dengan populasi berumur panjang, seperti Okinawa (Jepang) dan Sardinia (Italia), juga menjadi sorotan Berry. Ia menyebut bahwa penduduk di wilayah tersebut menjaga pola makan yang seimbang, aktif bergerak, serta menjalin hubungan sosial yang kuat. Menurut dia, polifenol dari tumbuhan yang mengalami stres alamiah juga berperan dalam menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh.
Berry menegaskan bahwa klaim orang bertubuh pendek berumur panjang tidak dapat digeneralisasi karena dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor biologis, gaya hidup, dan dukungan sosial. Penelitian di Jepang juga menunjukkan hubungan erat antara tubuh pendek dan umur panjang, di mana orang pendek lebih mungkin memiliki gen pelindung dari umur panjang. Berdasarkan penelitian ini, orang yang lebih pendek cenderung hidup lebih lama dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi.