Organisasi teroris global telah mulai memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk mengoperasikan aksi mereka, mulai dari rekrutmen hingga kesiapan finansial. Kelompok teroris jihadis seperti ISIS, al-Qaida, dan kelompok neo-Nazi, Base, menggunakan alat digital untuk merekrut, mendanai secara diam-diam melalui kripto, mengunduh senjata untuk pencetakan 3D, dan menyebarkan keahlian dagang kepada pengikut mereka. Upaya kontraterorisme pemerintah AS dilaporkan khawatir AI membuat kelompok teroris lebih efisien dalam perencanaan dan operasi.
Teknologi AI diketahui telah membantu teroris mempercepat aktivitas yang ada daripada merevolusi kemampuan operasional mereka. Kelompok seperti ISIS dan entitas terkait mulai menggunakan AI, terutama chatbot seperti ChatGPT, untuk memperkuat propaganda perekrutan mereka secara multimedia. Hal ini menambah tingkat kompleksitas dalam isu keamanan publik terkait ancaman yang dihadapi.
ISIS secara terang-terangan mengakui peluang AI dan memberikan panduan tentang penggunaan alat AI kepada para pendukung mereka. Mereka menguraikan bahwa AI bukan hanya sebuah teknologi, tetapi juga kekuatan yang membentuk perang. Penggunaan AI oleh kelompok teroris adalah contoh terbaru dari upaya mereka untuk memaksimalkan ruang digital untuk pertumbuhan mereka.
Sejak kejadian eksekusi massal ISIS di Mosul pada Juni 2014, upaya terkoordinasi telah dilakukan untuk mengawasi dan menindak situs-situs di dunia maya yang digunakan oleh kelompok teroris. Badan intelijen Barat fokus pada pengawasan kripto, aplikasi pesan terenkripsi, dan situs-situs di mana senjata cetak 3D dapat ditemukan untuk menghadapi ancaman yang dihadapi. Semua ini mencerminkan perubahan dinamika dalam konflik bersenjata modern terkait dengan pemanfaatan teknologi AI oleh organisasi teroris.