Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) Rasminto mendorong revisi Undang-Undang Polri, untuk memperjelas status pegawai Polri dalam entitas sipil.
Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu, dia mengatakan pembahasan mengenai RUU Polri, mengangkat isu penting tentang status Polri dalam tatanan kelembagaan negara. Mengingat posisi unik yang bukan militer, tetapi juga bukan sepenuhnya sipil.
“Memposisikan status bukan militer dan bukan sipil, lalu posisinya ada dimana? karena masih ada istilah aparatur sipil negara (ASN) Polri,” katanya.
Keterkaitan status itu dengan identitas Polri menjadi pertanyaan mendasar, dalam konteks reformasi yang memisahkan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melalui TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000.
“Setelah pemisahan dari ABRI, posisi statusnya dirancang untuk berfungsi sebagai entitas yang fokus pada penegakan hukum dan keamanan sipil khususnya Kamtibmas,” katanya menegaskan.
Menurutnya, semangat reformasi yang memisahkan Polri dari ABRI didasarkan pada kebutuhan untuk menciptakan penegak hukum yang responsif terhadap prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
“Upaya ini harus terus dilanjutkan dengan memastikan bahwa Polri tidak hanya secara struktural, tetapi juga secara fungsional beroperasi dalam kerangka sipil,” pesannya.
Ia pun mencermati status kepegawaian Polri, dalam draf RUU Polri pasal 20 ayat (1) Pegawai Negeri pada Polri terdiri atas anggota Polri dan aparatur sipil negara (ASN) jadi polemik dengan UU ASN.
Sebab kata dia, dalam UU ASN No 20 tahun 2023 pada Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah.
Pada Pasal 5 UU ASN dipertegas bunyinya adalah pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK.
“Saran kami dalam draf RUU Polri dipertegas posisi statusnya sebagai ASN, sebab tidak ada tafsir status kepegawaian lainnya dalam UU ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK,” katanya menegaskan.
Lanjutnya, dukungan perangkat kesenjataan yang dimiliki Polri seperti senapan serbu dan pelontar roket merupakan senjata khas militer yang mematikan.
“Sehingga memperkuat kesan militeristik dalam wajah kepolisian, idealnya penggunaan senjata dikhususkan untuk fungsi melumpuhkan,” pesannya.
Ia menyarankan Pemerintah dan DPR dalam penyusunan RUU merujuk pada model kepolisian di negara-negara, yang telah berhasil mendefinisikan posisi kepolisian sebagai institusi sipil yang kuat dan independen.
“Misal seperti di Inggris atau Jerman, di mana kepolisian memiliki identitas sipil yang kuat tanpa kehilangan otoritas dan efektivitasnya dalam penegakan hukum,” pesannya.