Indonesia telah menjadi bagian dari daftar 20 negara paling tercemar polusi udara, menunjukkan bahwa kualitas udara yang dihembuskan penduduk patut dipertanyakan. Laporan terbaru dari IQAir, platform pemantau kualitas udara, berjudul ‘World Air Quality Report 2024’ yang dirilis pada Selasa (11/3), mengungkapkan data dari lebih dari 40 ribu stasiun pemantauan kualitas udara di 8.954 lokasi di 138 negara, wilayah, dan kawasan yang dianalisis oleh para ilmuwan kualitas udara.
Menurut IQAir, hanya 17 persen kota di dunia yang memenuhi pedoman polusi udara WHO, dengan Chad menempati posisi teratas sebagai negara paling tercemar pada tahun 2024. Indonesia sendiri tercantum dalam daftar 15 besar negara paling tercemar, dengan rata-rata konsentrasi PM2.5 sebesar 35,5 µg/m³, turun sekitar 4 persen dari tahun sebelumnya.
Pozisi Indonesia sebagai negara dengan tingkat polusi udara paling parah di Asia Tenggara pada tahun 2024 juga tidak bisa dipungkiri. Meskipun Jakarta melihat penurunan tingkat PM2.5 sebesar hampir 5 persen dari tahun 2023, rata-rata tahunan masih mencapai 41,7 µg/m³. Beberapa faktor seperti fenomena El Niño dan urbanisasi yang cepat mungkin berkontribusi pada penurunan ini, namun tingkat PM2.5 nasional masih jauh melebihi standar WHO.
Di sisi lain, pertumbuhan industri seperti pembangkit listrik tenaga batu bara dan kontribusi dari transportasi dan pembakaran biomassa juga menjadi penyebab tingginya tingkat polusi udara di Indonesia. Meskipun sebagai produsen nikel terkemuka di dunia, pemurnian nikel juga membutuhkan energi besar dari listrik, yang kemudian mengakibatkan ekspansi pembangkit listrik batu bara.
Menurut laporan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), jika tidak ada langkah-langkah pengendalian emisi pada pembangkit listrik batu bara, beban kesehatan masyarakat secara ekonomi mungkin mencapai angka yang sangat besar di masa depan. Dengan demikian, Indonesia memiliki tantangan besar dalam mengatasi masalah polusi udara demi kesehatan masyarakat dan lingkungan yang lebih baik.
